10 Agustus 2010

Perjuangan Ibu dan Anaknya Melawan Kanker

Sungguh, seorang Ibu adalah teman dan malaikat terbaik bagi seorang anak. Saat senang, duka, haru...bisa kita bagi dengan seorang Ibu. Cinta dan amarah selalu mewarnai cerita seorang Ibu dan anaknya.

Berikut ini cerita yang sangat mengharukan tentang perjuangan seorang Ibu yang berusaha menemani dan menguatkan anaknya dalam melawan Kanker. Cinta adalah kekuatan terbesar yang membuat hidup terasa lebih indah.

Sangat mengharukan memang yang dilakukan Cyndie saat menemani anaknya Derek Madson (10)di UC Davis Medical Center di Sacramento.

Seorang fotografer, Renée C. Byer mendedikasikan foto-foto ini untuk senantiasa mengenang jasa para Ibu. Dari foto-foto ini, Renée C. Byer memenangkan Pulitzer 2007 di bagian Feature Photography.

Foto-foto ini menggambarkan sosok seorang single mother dalam berjuang bersama anaknya yang masih kecil untuk melawan kanker ganas.

21 Juni 2005


Balapan dengan bertelanjang kaki, Cyndie mendorong putranya Derek Madsen (10) naik dan turun lorong di UC Davis Medical Center di Sacramento, Cyndie berusaha mengalihkan perhatian Derek selama menunggu ekstraksi sumsum tulang. Dokter ingin untuk menentukan apakah ia memenuhi syarat untuk transplantasi Blood Cell Stem, dengan harapan terbaik untuk mengalahkan Neuroblastoma, Kanker masa kanak-kanak yang langka, yang didiagnosis pada November 2004.

25 Juli 2005


Cyndie memeluk Derek dengan erat, setelah mengetahui Derek membutuhkan operasi untuk mengangkat tumor kanker di perutnya. Cyndie tampak emosional, "Bagaimana ia bisa mempertahankan pekerjaannya dan melakukan ini?" dia mulai bertanya-tanya.

30 November 2005


Tak lama setelah ulang tahun Derek ke 11 dan Cyndie ke 40, Derek ditemani oleh saudaranya Mikha Moffe, 17 (kiri) dan sang ibu, Cyndie (kanan) saat dia sedang ditato dalam persiapan untuk terapi radiasi. Mikha sering menyertai Derek untuk perawatan meskipun sibuk sekolah.

9 Februari 2006


Menyadari bahwa Derek mungkin tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk mendapatkan SIM-nya, Cyndie membiarkan dia menyetir naik turun jalan di West Sacramento. Dan pada hari yang sama, Cyndie untuk pertama kalinya bertemu dengan pekerja dari rumah sakit yang akan selalu menjaga Derek dirumah, dan Cyndie menyadari tinggal sedikit waktu yang tersisa untuk Derek.

14 Februari 2006


Derek menangis setelah berargumen dengan Cyndie di UC Davis Cancer Center. Dia dan Dr William Hall berpendapat bahwa Derek harus menjalani serangkaian perawatan radiasi untuk mengecilkan tumor menyebar ke seluruh tubuh dan meringankan rasa sakit. "Derek, kamu mungkin tidak akan bertahan jika kamu tidak melakukan ini," Cyndie berkata pada anaknya. Derek berteriak, "Aku tidak peduli! Bawa aku pulang. Aku sudah selesai, Bu. Apakah Ibu mendengarkan saya? Aku sudah selesai."

24 April 2006


Cyndie menghibur sahabatnya, Kelly Whysong (kiri). Khawatir waktu Derek sudah dekat, Cyndie menulis surat kepada Derek tentang betapa beraninya dia selama perjuangannya melawan Kanker. Dia membacakan kepada putra bungsunya berulang kali, berharap ia masih dapat mengerti.

25 April 2006


Setelah meletakkan bunga di samping kepala anaknya, Cyndie menangis terisak-isak jatuh ke lantai, sahabatnya, Kelly Whysong (kiri) dan teman yang lain, Nick Rocha, menenangkannya. Derek terlalu lemah untuk mengenali kehadiran ibunya.

26 April 2006


Derek memiliki energi terakhir setelah berhari-hari Cyndie menjaganya di samping tempat tidurnya. Dia membantu anaknya yang kesakitan berjalan. Sebuah kanker tumor diperut Derek membesar begitu cepat sehingga celananya tidak muat lagi. Tumor lain di otaknya mengganggu penglihatannya membuat sulitnya mengarahkan tubuhnya dirumah kontrakan mereka.

28 April 2006


Derek menolak untuk minum obat karena ia takut merusak organnya dan membuatnya lebih parah. Ia marah pada ibunya, dan menyalahkannya karena obat-obat itu tidak membuatnya lebih sehat. "Kamu harus menenangkan diri dan bantu saya untuk membantu kamu," kata Cyndie.

****


Derek mencium ibunya di acara Relay for Life Benefit, bersama saudara perempuannya yang berumur 6 tahun, Brianna. Cyndie merekrut banyak relawan untuk acara itu. Sebelum perlombaan, Cyndie berbicara kepada penonton betapa ia bangga dengan keberanian putranya selama melawan kanker.

8 Mei 2006


Cyndie memegang Derek. Dia sedang dalam pengobatan yang menghambat kemampuan bicaranya dan selalu terbangun di malam hari. Cyndie menghabiskan hampir setiap saat hari di sisinya kecuali beberapa menit saat perawat rumah sakit mengurusnya, "Aku sangat lelah tapi aku harus melakukan ini. Dia akan memanggil nama saya dan selalu mengharapkan saya untuk berada disebelahnya," kata Cyndie.

****


Cyndie mengajak Derek keluar, Cyndie mendorongnya melalui pintu depan melewati gambar-gambar dan kartu diberikan kepada anaknya oleh teman-teman sekelasnya di SD Pulau Bridgeway. "Sama seperti bayi yang baru lahir, ia perlu untuk keluar dan menghirup udara segar," katanya. Itu adalah perjalanan terakhir di luar rumah.

10 Mei 2006


Cyndie melawan tangis dan emosinya, saat dia bersiap menguras kateter Derek dengan larutan garam sebelum perawat Sue Kirkpatrick (kiri) memberikan obat penenang yang akan memberikan Derek kematian yang damai. "Aku tahu dalam hatiku, aku sudah melakukan semua yang saya bisa," kata Cyndie.


Cyndie menimang Derek dengan lagu, "Because We Believe," yang ia putar di CD. Ia bernyanyi berbisik bersamaan dengan suara Andrea Bocelli.
"Sekali dalam setiap kehidupan, Ada saatnya, Kita berjalan keluar sendirian, Dan ke dalam cahaya ..."
Dari kiri, teman-teman keluarga Ashley Berger, Amy Whysong Morgan dan Kelly menenangkan Cyndie yang sedang berkata kepada Derek, "Tidak apa-apa, Sayang. Aku mencintaimu, anakku yang kecil. Aku mencintaimu, anakku yang pemberani. Aku cinta kamu. Aku mencintaimu."
Derek meninggal segera setelah di pelukan ibunya pada 10 Mei 2006.

19 Mei 2006


Cyndie memimpin peti mati Derek untuk penguburan dengan bantuan dari putra-putranya Anthony Moffe, Mikha Moffe dan Vincent Morris dan juga beberapa teman. "Aku akan selamanya mengenangmu dalam hatiku dan mengingatkan orang lain untuk memberikan waktu mereka, energi dan dukungan kepada keluarga lain seperti kita," kata Cyndie di pemakaman. Derek dimakamkan di Mount Vernon Memorial Park di Fair Oaks, California

8 Agustus 2010

Child Abuse Death of Baby Brianna Lopez


Kisah ini sebenarnya sudah lama ingin ku bagi pada sahabat-sahabat Nabila. Saat pertama membaca kisah ini, sungguh aku menangis, menyesal dan entah apalagi yang aku rasakan, sakit rasanya dada ini ketika mengetahui ada cerita tragis seperti ini menimpa seorang bayi usia 5 bulan.
Ini adalah kisah tentang kekerasan pada seorang gadis kecil berusia 5 bulan bernama Brianna Lopez.Kejadian ini terjadi pada 19 Juli 2002
Brianna, seorang bayi perempuan yang masih sangat kecil meninggal karena kekerasan fisik yang di alaminya. Kalian mungkin takkan percaya ketika aku menjabarkan penyebab kematian bayi mungil ini,..
Brianna meninggal karena ayah tirinya dan pamannya melemparkan di udara dan tidak menangkapnya, menggitnya dan mereka juga melakukan kekerasan seksual. Entah secara sadar atau tidak sadar, pamannya memerkosanya. Sang Ibu pun tak jauh ceritanya, ia melemparnya, menggigit dan mencubit nya.
Brianna dipukuli oleh orang tua dan pamannya. Nenek dan saudaranya yang lain tahu tentang perbuatan amoral ini tapi tidak melakukan apa-apa. Brianna mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh kecilnya. Dia mengalami pendarahan otak, tulang rusuk patah, dan semua tanda-tanda sindrom kekerasan pada bayi. Ayah tirinya memukul dan Paman memperkosa Brianna lagi, lagi dan lagi. Ibunya "tertidur" saat mereka membunuh Brianna.

Ada banyak bekas gigitan di wajahnya, pipi, kepala, lengan, kaki, dada, badan, di mana-mana...Memar membekas dari ujung kepala sampai ujung kaki....Luka benturan dikepalanya yang mungil, beberapa luka sobek dikulitnya yang halus...Brianna meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit....tubuh kecilnya terbaring kaku dengan luka-luka terlukis ditubuhnya

Baby Brianna Lopez

Penyidik yang menangani kasus Brianna berkata ibu dan ayah tiri Brianna, Stephanie Lopez dan Andy Walters, dan pamannya Steven Lopez adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini.
Malam sebelumnya, Steven dan Andy melemparkan Brianna ke langit-langit, lalu biarkan Brianna jatuh membanting tanah. Dan mereka memperkosa bayi mungil itu berkali-kali.
"Bekas gigitan di seluruh tubuhnya sebagian luka lama dan baru," kata Wright. "Dia mengalami retak di tulang tengkorak.
"Dia mengalami pendarahan di otak dan ini adalah luka lama, berarti ia telah disiksa secara fisik seumur hidupnya."
Dan sementara untuk semua pelecehan itu, saudaranya yang lain dan sang nenek tahu tentang kejadian ini tetapi tidak pernah dilaporkan atau mencoba untuk menghentikannya.
Andy Walters si Ayah, mendapat hukuman 57 tahun penjara. Pamannya, yang adalah saudara kembar ibu, Steven Lopez, dihukum sampai 51 tahun. Ibunya, Stephanie Lopez, hanya dihukum sampai 27 tahun. Neneknya dan saudaranya yang lain dipenjara selama 60.
Ini aku tuturkan kepada semua orang yang membaca ini, Brianna dipukuli dan memar dari kepala hingga ujung kaki dan tidak ada yang bisa membantunya.
Sebelum mereka memulai otopsi, wajah mungilnya terbaring di atas kain putih dan para dokter berpikir Brianna terlihat seperti sedang tidur, jadi mereka mencoba mengambil gambar."Sebelum mereka memulai otopsi dan wajah mungilnya terbaring di atas kain putih dan saya pikir dia terlihat tidur," kata Wright. "Jadi aku hanya mengambil gambar."
Brianna dimakamkan di Albuquerque, New Mexico. Orang-orang mulai terus mengunjungi makamnya, akhirnya keluarga membangun sebuah gerbang besi di sekitar makam dan menguncinya.
Siapapun yang membaca ini, Anda mungkin akan sedih atau marah. Brianna tidak melakukan apa pun sehingga layak untuk disiksa semacam itu. Kenapa ini harus terjadi padanya??

Cintailah anak-anak....and STOP CHILD ABUSE...

4 Agustus 2010

Sang Operator yang Maha Tahu

Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telephone di rumah kami. Inilah telephone masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telephone lain.

Sang operator akan menghubungkan secara manual.
Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa , kalau putaran diputar , sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata :
“Operator ” Dan si operator ini maha tahu.
Ia tahu semua nomor telephone orang lain.
Ia tahu nomor telephone restaurant, rumah sakit, bahkan nomor telephone toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun di rumah dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar-putar kesakitan dan memasukkan jempol ini ke dalam mulut tatakala saya ingat …operator! !!

Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.
” Di sini operator…”
” Jempol saya kejepit pintu…” kata saya sambil menangis. Kini emotion bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.
” Apakah ibumu ada di rumah?” tanyanya.
” Tidak ada orang”
” Apakah jempolmu berdarah?”
” Tidak, cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali”
” Bisakah kamu membuka lemari es?” tanyanya.
” Bisa, naik di bangku”
” Ambillah sepotong ice dan tempelkan pada jempolmu….”

Sejak saat itu saya selalu menelephone operator kalau perlu sesuatu. Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi, apa nama ibu kota sebuah negara. Tanya tentang mathematics. Ia juga menjelaskan bahwa tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan , makannya kacang atau buah.

Suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.

Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar.Saya tanya: “Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak di kandangnya?”

Ia berkata pelan: “Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain….”

Kata-kata ini – ngga tau bagaimana – menenangkan saya. Lain kali saya telephone dia lagi.
“Di sini operator”
“Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?”

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun.
Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan “Di sini operator”
Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya study trip ke kota asal. Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telephone dan minta bagian “operator”
“Di sini operator” Suara yang sama.
Ramah tamah yang sama.
Saya tanya: “Bisa ngga eja kata kukuruyuk”
Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan: “Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan?”
Saya tertawa. “Itu Anda… Wah waktu berlalu begitu cepat ya.”

Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serious: “Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon”

Saya ceritakan bahwa, ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi.
“Tentu, nama saya Saly”
Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telephone operator.
Suara yang sangat beda dan asing.
Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly.
Suara itu bertanya “Apa Anda temannya?”
“Ya teman sangat lama.”
“Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan, dan dia meninggal lima minggu yang lalu….”

Sebelum saya meletakkan telephone, tiba tiba suara itu bertanya:
“Maaf, apakah Anda bernama Paul?”
“Ya”
“Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya….”
Ia kemudian membacakan pesan Saly:
“Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN… Paul akan mengerti kata kata ini….”

Saya meletakkan gagang telephone.
Saya tahu apa yang Saly maksudkan.
“Selamat bernyanyi di dunia lain, Sally, sahabatku, operator telephone yang bagiku tidak ada duanya di dunia ini”, ucap saya dalam hati.

3 Agustus 2010

--Mandikan Aku Bunda--

Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang dimilikinya sampai akhirnya...Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang "selevel"; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika kuberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
– Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
– Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
– Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.
– Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
MEREKA LUPA BAHWA ALLAH YANG MENENTUKAN SEMUANYA. HIDUP, MATI, RIZQI, JODOH HANYA ALLAH YANG MENENTUKAN.
– Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Sumber : dikutip dari milis cetifasi

..Lukisan Tangan Dita..

Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan , tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.


Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu rumah yang tersentak engan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah adam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi.Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik …kan!” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya . Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya.

Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah.

Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja ,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik, pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu.

Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata histerinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan.

Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah..sayang ibu”, katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti ?… Bagaimana Dita mau bermain nanti ?… Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi, ” katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…, Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya.

Sumber : dikutip dari milis EMBA, dan debritto

2 Agustus 2010

Kan Kubawa Raga Kecilmu Ke Pusara Terakhir..

Pejabat Jakarta seperti ditampar...Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah.

Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger...

Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn).
Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari”. Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.

Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Merasa cukup punya uang dari sedekah (dari para pedagang kecil tadi), supriono memanggil sopir bajaj. Ia tiba-tiba teringat Sri Suwarni, pemilik rumah petak yang perna disewanya beberapa tahun lalu. Bajaj pun meluncur ke jalan Manggarai Utara VI,Jakarta Selatan, rumah petak Ibu Sri.
Sri menetaskan air mata. Perempuan mana yang tidak menangis mendengar kisah sedih di hari Minggu itu? Tubuh mungil dalam balutan kain sarung warna merah kekuningan itu lantas direngkuh dari dekapan Supriono. Mayat itu lalu di baringkan diatas kasur tipis yang berada di ruang tamu rumahnya. Wanita berusia 40 tahun itu lalu meminta bantuan tetangganya. Warga setempat akhirnya dengan tulus urunan membantu mengurus jenazah, ada yang membeli kain kafan, ada yang memasang bendera kuning disudut-sudut gang, ada yang berdoa dan memandikan. Keesokan harinya, putri bungsu Supriono dimakamkan di Blok A6 No.3 Taman Pemakaman Umum ( TPU ) Menteng Pulo, bunga surga itu pun akhirnya bisa beristirahat dengan tenang, diantar orang-orang miskin yang kaya amal.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia”, ujarnya.